What’s Mine Is Yours Part III – The Rise of Collaborative Consumption by Rachel Bostman & Roo Rogers

Leave a comment

Komunitas adalah Brand

Masih ingat teori motivasi ala Abraham Maslow yang bentuknya piramid? Dimana menurut Maslow motivasi manusia terbagi dalam hirarki piramid, mulai dari kebutuhan dasar di bawah kemudian harga diri, kepemilikan dan aktualisasi diri di pincaknya.

Pola Collaborative Consumption memenuhi 2 hierarki Maslow sekaligus, yaitu di tingkat pribadi dia memenuhi kebutuhan dasar anggotanya dan juga di tingkat komunitas memenuhi harga diri dan kepemilikan dari para anggotanya. Komunitas telah menjadi brand, yang membantu anggotanya menemukan jati diri dan harga diri sekaligus. Berbeda dengan pola lama yang individualistis dan brand hanya untuk konsumsi belanja saja. Sebagai contoh, Nike kini memiliki Nikeplus, dimana Nike benar-benar membangun komunitasnya disini.

Fungsi brand disini adalah untuk “Memberdayakan Komunitas” dan merangkul mereka, bukan sebuah kampanye. Dicontohkan, Skype, hanya dalam 2 tahun telah mampu merangkul 100 juta pengguna. Akhir 2008 menjadi 405 juta pengguna dan lebih dari 2,6 milyar menit digunakan untuk penggunaan panggilan SkypeOut.

Brand Evangelists

Menurut Erik Qualman, dalam bukunya Socialnomics, hanya 14% orang percaya akan iklan, sementara 78% percaya pada rekomendasi dari rekan atau peer. Dicontohkan bagiamana Harley Davidson, Virgin, Apple & Starbucks telah berhasil merangkul konsumennya dan mengejawantahkan ide ini, yaitu menjadikan brand-nya dari sesuatu yang diinginkan menjadi sesuatu yang disenangi kemudian menjadi sesuatu yang konsumennya dapat berpartisipasi di dalamnya.

Collaborative Consumption brand berinvestasi pada komunitasnya sejak awal. Alih-alih berbicara kepada penggunanya, mereka lebih banyak mendengarkan dan mendorong pembicaraan yang multi-arah. Fungsi customer service tradisional hanyalah untuk menanggapi komplain dan pendekatan top-down, sementara dalam Collaborative Consumption lebih merangkul komunitas.

Pendiri Collaborative Consumption menggunakan waktunya untuk menyapa anggotanya dan mengenalkannya kepada anggota lainnya. Pemimpin melihat dirinya bukan sebagai penguasa brand tapi lebih sebagai tuan rumah dari sebuah pesta, menolong para undangan untuk saling berintegrasi dengan anggota yang lainnya.

Letting Go

Dalam Collaborative Consumption, penggagas harus benar-benar membiarkan dan membebaskan anggota komunitasnya untuk melakukan dan mengekspresikan dirinya, walau terjadang tidak berhubungan dengan fungsi komunitas, sepanjang masih dalam koridornya.

Brand of No Brand

Jika kita lihat Wikipedia, Digg, PlentyOfFish, Tumblr atau Craiglist, adalah komunitas-komunitas yang berdayaguna karena fungsinya yang berguna untuk penggunanya, namun secara brand sepertinya bukan brand yang secara tradisional kita pahami. Orang bahkan tidak mengasosiasikannya sebagai brand tapi sebagai fungsi. Jika saya tanya apakah anda tau Wikipedia? Apakah yang terlintas di kepala Anda?

What’s Mine Is Yours Part II – The Rise of Collaborative Consumption by Rachel Bostman & Roo Rogers

Leave a comment

Implikasi

Agar collaborative consumption bisa berhasil dengan baik, penulis mengetengahkan beberapa langkah dasar sebagai berikut:

1. Collaborative Design
Layaknya sebuah karya seni ataupun ciptaan apapun, maka diperlukan desain yang baik. Agar bisa diterima oleh suatu kelompok maka desain haruslah merupakan perpaduan seimbang antara kebutuhan konsumen dan kepentingan bersama dari kelompok.
Dalam era network seperti saat ini, desain dituntut tidak hanya untuk dibuat tapi juga dipikirkan, atau dari Design Creation menjadi Design Thinking, yaitu menciptakan sesuatu yang bisa digunakan terhadap berbagai produk untuk memecahkan masalah-masalah besar dengan menggunakan sistem & pengalaman. Dengan demikian desainer tidak bisa hanya memikirkan untuk mendesain bendanya tapi juga memikirkan pengalaman apa yang didapat orang dari benda tersebut.

2. Sistem yang Pertama
Setelah kita melakukan Design Thinking, selanjutnya pikirkanlah sistemnya, maksudnya bagaimana hal yang kita pikirkan desainnya tadi untuk bekerja dengan baik di komunitas atau untuk orang-orang. Sebagai contoh BIXI, memikirkan bagaimana orang-orang akan mau dan merasakan bagiamana pengalaman menyewa sepeda dari BIXI, bagaimana tempat persewaan bisa mudah tersedia di seantero kota, bagaimana sepeda yang disewa tidak dirusak atau dicuri dan lain sebagainya.
Desainer yang baik akan memikirkan bagaimana memberikan value terhadap apa yang diciptakannya sehingga orang-orang bisa merasakan adanya pengalaman yang berbeda dari hanya memiliki sesuatu benda atau jasa.

3. Satu untuk Seterusnya
Faktor kunci lainnya adalah ke-umur panjangan dari suatu desain dan sistem. Desainer harus menciptakan sesuatu yang bisa terus berlaku dan tidak mudah usang atau kadaluwarsa.

What’s Mine Is Yours Part I – The Rise of Collaborative Consumption by Rachel Bostman & Roo Rogers

Leave a comment

Buku ini dimulai dengan menceritakan bagaimana Airbnb.com berdiri. Airbnb adalah situs dimana orang-orang yang memiliki ruang kosong tak terpakai memasarkan atau menawarkan ruangannya kepada orang lain yang membutuhkan tempat menginap dengan biaya yang jauh lebih murah dari hotel dan lebih bersahabat.
Airbnb sendiri didirikan oleh Joe Gebbia & Brian Chesky, sahabat karib dari Rhode Island School of Design yang pada suatu waktu hendak menghadiri annual industrial design conference si San Fransisco. Begitu terkenalnya acara ini hingga pengunjung rela mereservasi tempat menginap dari jauh hari sebelumnya. Kedua sahabat ini sudah kehabisan tempat inap & kalaupun ada sangat mahal. Di satu sisi, apartemen merekapun biayanya sangat mahal. Dari sinilah timbul ide mereka untuk menyewakan ruang kosong yang ada di apartemen mereka yang tak terpakai. Dari sewa ini mereka bisa mendapatkan $1,000 hanya dalam 1 minggu.
Dari ide ini berkembanglah ke ide membuat web, maka mereka meminta teman mereka Nathan Blecharczyk untuk membuatkan web bagi mereka, dan hadirlah Airbnb.com.
Dalam beberapa tahun terakhir memang sudah banyak gerakan-gerakan sejenis Airbnb, misalnya seperti Zipsters, yaitu perkumpulan orang-orang yang berbagi kendaraan atau tumpangan dengan rekan lainnya, atau bertukar buku, dvd dan mainan seperti Swaptree & OurSwaps atau memberikan barang2 yang sudah tidak diperlukan seperti di Freecycle & ReUseIt.
dalam buku ini diketengahkan mengenai Collaborative Consumption yaitu penggunaan barang atau jasa secara bersama atau berbagi. Dalam buku ini juga terlihat adanya pergeseran, dimana sebelumnya orang2 lebih senang dengan privasinya atau dari sistem jual-beli beralih kembali ke era di mana saling barter atau saling konsumsi. Orang-orang menyadari bahwa terkadang pola konsumtif cenderung boros. Terkadang secara impulsif kita membeli barang2 yang hanya akan digunakan kurang dari 3 kali dalam setahun, namun barang tersebut memakan tempat yang banyak di rumah kita atau memerlukan biaya perawatan yang tidak perlu. Padahal sebetulnya bila diberikan atau dipergunakan oleh orang lain yang memerlukan akan lebih bermanfaat dan berdayaguna bahkan bisa memutar perekonomian setidak untuk individunya atau untuk kelompok itu sendiri. Pernahkah kita berfikir bahwa alat panggang bbq yang kita beli hanya dipakai 2x setahun padahal harganya mahal & memakan tempat penyimpanan di rumah. Atau ruang kosong di rumah kita yang tidak terpakai bisa dijadikan tempat inap buat wisatawan?
Dalam buku ini contoh2 Collaborative Consumption dibagi dalam 3 sistem yaitu:
1. Product Service System: contoh: twitter, facebook, digg, linkedin, Zipcar untuk berbagi kendaraan atau tumpangan
2. Redistribution Market: contoh: eBay, AuctionWeb, Swapstyle (barter baju), SwapDVD (barter dvd), SplitGames (barter games), Amazon
3. Collaborative Lifestyles
Ada 4 prinsip dasar yang menyebabkab Collaborative Consumption berhasil menurut buku ini, yaitu:
1. Critical Mass: dimana ada kebutuhan yang luas untuk sesuatu hal, baik barang maupun jasa
2. Idling Capacity: dimana ada kapasitas yang tidak terpakai
3. Beliefe in the commons: adanya persamaan kebutuhan
4. Trust between strangers: adanya kepercayaan atas orang asing, karena dengan Collaborative Consumption konsekuensinya kita akan berhadapan dengan orang2 asing yang memiliki 3 prinsip dasar di atas.
Yang menarik lainnya dari buku ini adalah menegaskan bahwa saat ini zaman sudah bergeser dari sebelumnya “Generation Me” menuju ke “Generation We”, yaitu generasi dimana saling berbagi (sharing). Dimulai dengan google, wikipedia, blog, youtube, myspace dan yang paling fenomenal adalah facebook dan twitter.
Contoh lain di buku ini adalah BIXI, yaitu persewaan sepeda di Montreal Canada yang menjadi percontohan untuk penggunaan sepeda hampir di seluruh dunia. Dimana sepeda disewakan bagi siapa saja dan tersedia di hampir seluruh penjuru kota, membuat kita tidak perlu membeli sepeda, lebih sehat dan cinta lingkungan.